CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 13 Februari 2010

Bertanya kepada Sang Pemilik Hidup

Hidup adalah pilihan
Tapi apakah kita mampu memilih sendiri
Tanpa bantuan sang pemilik hidup?


Beberapa waktu lalu, seorang teman datang dengan segala keluh kesahnya tentang pernikahannya yang di ujung tanduk, tentang rasa malunya karena merasa salah memilih suami, tentang rasa sedihnya ketika berpura-pura menciptakan image keluarga sakinah di depan orang tuanya. Pelan saya bertanya, “Apakah kamu benar-benar mengenal suamimu?”, Dia mengangguk.
 
Sayapun kembali mengajukan pertanyaan “Apakah sudah istikharah?” kali ini dia menggeleng dan mengeluarkan statement “Pilihannya kan cuman 1 diy, kenapa pake istikharah segala?”
Kadang orang berpikir, shalat istikharah hanya diperlukan ketika ada dua pilihan yang sama-sama menggiurkan. Misal, kita diterima pada dua buiah perguruan tinggi yang dua-duanya sudah kita idam-idamkan sejak lama, untuk itu kita beristikharah, agar lebih ‘mantap’ karena kita yakin bahwa pilihanNya pasti tepat. 
 
Kalau pilihannya memang cuma 1, kita musti rubah pertanyaannya, bukan lagi “Mana yang cocok buatku?” melainkan “Apakah ini cocok untukku?”
 
Sepenting itukah istikharah?
 
Iya.
 
Kenapa?
 
Jawabnya adalah karena Sang Pencipta lebih tahu tentang yang diciptakanNya, Sang Pencipta jugalah yang memegang kendali alur kehidupan yang dicptakanNya. Apakah kita akan menjadi manusia yang berjalan sambil terpejam? Sementara Dia sebenarnya sudah menyediakan penerang buat kita?
 
Lalu bagaimana jika yang kita inginkan ini ternyata tidak cocok buat kita? Jawabnya adalah Ridhalah sebab Allah lebih tahu mana yang lebih baik dari kita.
 
Jika pada akhirnya keputusan yang kita ambil berdasarkan hasil istikharah ini menghadirkan kerikil yang hampir membuat kita terjatuh pada lembah curam kehidupan, jangan pernah berpikiran bahwa Dia mempermainkan kita. Karena bisa jadi itu adalah ujian bagi keikhlasan kita dalam menjalani pilihanNya. Bersabarlah, karena sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. 
 
Wallahu a’lamu bisshawab
Aysha 
Surabaya, 12 Februari 2010 

Rabu, 10 Februari 2010

Berbicara Tentang Cinta

Adakah yang aneh dengan cinta? hingga terkadang seseorang rela melakukan apapun demi cinta atau bahkan ada jiwa yang tak mampu bangkit hanya karena merasa kehilangan cinta. Terkadang sebagian kalangan menjudge bahwa cinta itu dekat dengan penderitaan. Tidak, sama sekali tidak, cinta itu indah teman. Cinta adalah anugrah yang diberikan Allah untuk kita. Cinta juga sudah bagian dari sunnatullah. Bahkan mungkin, kekuatan untuk mencintai adalah titik tertinggi dari hakekat cinta sejati (halah..ngemeng epe se??? XD).
Lantas kenapa harus ada kisah setragis Pronocitro-Roromendut, Romeo-Juliet, serta Qais-Layla
Jawabnya adalah karena mereka salah meletakkan posisi hati, dan salah mengartikan cinta.
Mereka menempatkan kebersamaan dan penerimaan sebagai tujuan akhir perjalanan cinta.
Banyak orang yang berpendapat bahwa cinta sejati itu seperti kisah cinta mereka.
Tidak, sungguh tidak. Cinta sejati tak akan pernah mengalahkan cinta kita kepada Allah.
Cinta sejati adalah seperti kisah di bawah ini :
Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.
Singkat cerita , kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Indah bukan???
Meski salman tak bisa menikah dengan wanita Anshar yang dikhitbahnya, Salman tetap bisa membuatnya bahagia.
Meski salman tak bisa menikah dengan wanita Anshar yang dikhitbahnya, Salman tetap ikhlas, ridha, tak pernah menyalahkan takdir Allah
Inilah kesejatian cinta yang sesungguhnya…
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).(QS Ali Imran :14)
Sudahkah mata kita terbuka ataukah kita masih kekeuh dengan lagunya ungu :
“Ku mencintaimu lebih dari apaun……………………………………………………………………”
Sampai kita melangkah menuruti syair Kahlil Gibran
“Bila cinta memanggilmu, ikutlah dengannya meski jalan yang kalian tempuh terjal dan mendaki”..
Jika cinta yang kita maksud itu cinta kepada Allah, silahkan saja …ikuti cinta itu meski jalannya memang terjal dan mendaki. Tapi jika cinta itu adalah cinta kepada makhluknya…
Tunggu dulu, sebab Allah berfirman :
"Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, sanak keluarga, harta yang telah kamu usahakan, perniagaan yang kamu takuti kerugiannya dan tempat-tempat tinggal yang kamu sukai, itu semua lebih kamu cintai daripada Allah, Rasul-Nya serta melaksanakan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan urusan-Nya (azab-Nya). Dan Allah sekali-kali tidak akan menunjuki orang-orang yang fasik." (QS. At-Taubah: 24)”
Ingat akhi wa ukhti
Jangan sampai kita salah memposisikan hati
Agar cinta tetap menjadi indah
Agar cinta berbuah surga
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS Ali Imran 31)


Note
Kisah salman Al farisi mengutip dari buku "Jalan Cinta Para Pejuang" karya Salim A Fillah