CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 25 Maret 2010

Al Hikam : Mutiara 1




“Sebagian dari tanda-tanda bersandarnya (manusia) pada amalnya adalah berkurangnya harapan [kepada Allah] ketika terjadi kesalahan (dosa)”
Di mutiara pertama ini, Ibnu Athaillah mengajak kita merenung mengenai hakikat amal.
Jika saja :
“berkurangnya harapan [kepada Allah] ketika terjadi kesalahan (dosa)”
Benar-benar terjadi kepada kita.
 Ada yang perlu diperiksa  dalam diri kita. Kepada siapakah sebenarnya kita bergantung. Kepada Allah? Atau kepada amalan yang kita lakukan?
Ke arah mana hati kita menghadap? Kepada amalan kita ? atau kepada Allah?
Karena sesungguhnya hati yang menghadap kepada Allah s.w.t hanya bergantung kepada-Nya menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa tuntutan.
Hati yang menghadap kepada Allah tidak menjadikan amalnya, berapa banyak sekalipun, sebagai alat untuk tawar menawar dengan Allah untuk mendapatkan sesuatu.
Sangat berbeda dengan hati yang menghadap kepada amal.
Hati yang seperti demikian sangat percaya bahwa amal  menentukan apa yang akan diperoleh  di dunia juga akhirat
Hati yang seperti demikian sangat yakin jika amal yang  banyak pasti bisa mengantar ke surga begitupun sebaliknya amal yang sedikit pasti bisa menjerumuskan ke neraka. Keyakinan itu kadang terlalu besar itu kadang membuat mereka lupa bahwa ada Allah yang menentukan siapa yang berhak masuk surga dan siapa yang harus dijebloskan ke neraka.
Saudaraku
Sekarang mari bersama-sama melihat keadaan hati kita . Seperti yang dikatakan ibnu Athaillah tadi, ketika kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Apakah dosa membuat hati kita berputus asa terhadap rahmat dan pertolongan Allah? Jika iya, itu tandanya kita masih sangat bergantung kepada amal kita.
Astaghfirullahaldzim
NB
Saudaraku,
Jagalah keikhlasan hati anda
Jadikan amal anda sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
Bukan sekedar sebagai jalan menuju surga
Atau sekedar penyelamat diri dari neraka
Karena hanya Allah, sekali lagi hanya Allah
Yang bisa memasukkan kita ke surgaNya dan menyelamatkan kita dari Nerakanya
Saudaraku,
Pasrahkan diri anda hanya kepada Allah
Bukan yang lain
Karena
“Allah tempat bergantung segala sesuatu”
(QS Al Ikhlas : 2)
Wallahua a’lam

Rabu, 24 Maret 2010

Kau Berhak Menutup Aibmu, Ukhti

      

                Setiap orang ibarat bulan
                Memiliki sisi kelam
                Yang tak pernah ingin ia tunjukkan pada siapapun
                Pun sungguh cukup bagi kita
                Memandang sejuknya bulan
                Pada sisi yang menghadap ke bumi.
                                   (Salim A Fillah, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim)
               
Menapaki jalan hidup yang berliku memang tak mudah.  Di luar sana terlalu banyak godaan yang bisa mengaburkan pandang, membawa sedikit peristiwa khilaf di dalam hidup. Menyisakan aib yang teramat sulit dihapus.
Di organisasi yang sedang saya urusi sekarang, saya mengenal seorang teman yang sangat baik, santun seperti tanpa cela.  Tapi entah mungkin saya yang terlalu memperhatikan orang atau apa, saya selalu menangkap raut getir setiap kali kami berbicara tentang keluarga juga cita-cita membahagiakan mereka.
 Satu hari, karena saya merasa kasihan dengan wajah getirnya akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya tentang masalah yang dihadapi. Ternyata jawabannya memang sedikit membuat getir.
Dia menuturkan
“enam tahun lalu saya dikirim ke pesantren. Tentu ukhti tahu, harapan setiap orang tua yang mengirimkan anaknya ke pesantren sudah pasti agar anaknya menjadi wanita salihah. Tapi entah saya sendiri tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Seiring berjalannya waktu, kondisi mental saya agak terganggu. Saya menjadi seorang kleptomania. Sekarang saya memang sudah sembuh tapi…………” dia menghela nafas lantas melanjutkan ceritanya.
“Orang tua saya memang belum tahu soal ini. ukhti, haruskah saya jujur menceritakan aib ini ke orang tua saya? Dan membuat mereka kecewa? Terlebih lagi kalau tetangga saya tahu, saya takut orang tua saya malu. Saya takut ukh, saya hanya ingin membuatnya bangga….
Mendengar cerita teman saya, saya jadi teringat sebait kata indah dalam buku Salim A Fillah, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim        :



Setiap orang ibarat bulan
                Memiliki sisi kelam
                Yang tak pernah ingin ia tunjukkan pada siapapun
                Pun sungguh cukup bagi kita
                Memandang sejuknya bulan
                Pada sisi yang menghadap ke bumi.
                                         (Salim A Fillah, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim)

Memang tak ada salahnya menyembunyikan aib dihadapan makhlukNya. Jika ada yang merasa tak jujur karena melakukan hal ini, perlu direnungkan lagi apa arti kebohongan.
Kebohongan adalah menyampaikan berita yang tidak benar sedangkan menyembunyikan aib *selama tidak ada yang menanyakan* tidak menyampaikan apa yang memang seharusnya tak disampaikan
Bukankah Rasulullah pernah bersabda   :
”Setiap umatku mendapat pemaafan kecuali orang yang menceritakan (aibnya sendiri). Sesungguhnya diantara perbuatan menceritakan aib sendiri adalah seorang yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari dan sudah ditutupi oleh Allah swt kemudian dipagi harinya dia sendiri membuka apa yang ditutupi Allah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim).[1]
Dalam fatawa Al Azhar juga disebutkan bahwa Umar bin Khottob ra pernah melarang seorang laki-laki yang ingin menjelaskan aib putrinya tentang apa yang menimpa dirinya tatkala orang itu ingin menikahkannya. Hal itu merupakan kejanggalan yang tidak ada penipuan didalamnya.
Dan seandainya lelaki yang meminangnya itu bertanya kepadanya tentang masa lalu dan aib-aibnya maka diharuskan baginya untuk memberitahukannya karena bisa jadi apabila lelaki itu mengetahui kejujuran dan kesungguhannya dalam bertaubat ia akan bersimpati atas keterusterangannya sehingga menikahinya.[2]
Sungguh, adalah hak kita untuk menutupi aib diri setelah bertaubat . Karena hakikat dari taubatan nasuha yang sesungguhnya adalah melupakan dosanya dan tidak menyebut-nyebutnya lagi seperti pendapat Al Junaid yang dikutib Al Qurthubi  dalam al Jami’ Li Ahkamil Qur’an

“Taubat nashuha adalah orang itu melupakan dosanya dan tidak menyebutkannya lagi selama-lamanya karena siapa yang benar taubatnya maka ia menjadi orang yang mencintai Allah swt dan siapa yang mencintai Allah swt maka ia akan melupakan sesuatu selain Allah swt.”[3]
               
                Wallahu a’lamu bisshawab
                               
                Rujukan
1.       Shahih muslim
2.       Fatawa al Azhar juz XX hal 43
3.       al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz XVIII hal 422

Sabtu, 13 Maret 2010

HUKUM MEMBACA DAN MEMEGANG AL QUR'AN SAAT HAID (PART 2)

Setelah pendapat pertama diuraikan di bagian 1, sekarang saatnya kita membahas pendapat kedua.
Ulama yang memperbolehkan wanita haid memgang Al Qur’an berpegang pada dalil berikut :

إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَا لَمِينَ

Artinya:
“Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.” (QS. Al Waqi’ah: 77-80)

Ulama-ulama yang menyetujui pendapat ini berpendapat bahwa, kata ganti nya pada “Tidak menyentuhnya” dirujuk kepada kitab yang terpelihara (Al Waqiah :78).
Selain itu lafadz المُطَهَّرُونَ yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.
Merujuk pada hadist

“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)

Serta firman Allah

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)

Semakin memperkuat pandapat para ulama bahwa yang dimaksud dengan yang disucikan disini adalah seluruh orang beriman.

Dalil lain yang juga menjadi dasar pendapat ini adalah hadis Rasulullah yang merupakan jawaban atas pertanyaan Aisyah tentang hal apa saja yang bisa dilakukan wanita haid saat berhaji:

“lakukanlah semua apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf di Baitullah hingga engkau suci”

( HR. al-Bukhori dan Muslim).

Meski demikian bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushaf untuk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.

Kesimpulannya, kedua pendapat di atas hanyalah masalah khilafiyah. Kita bebas menganut yang mana asal tahu dasarnya

Wallahu a’lam 

HUKUM MEMBACA DAN MEMEGANG AL QUR'AN SAAT HAID (PART 1)


Hukum membaca Al quran saat haid (PART 1)
            Terjadi perbedaan dari jumhur ulama mengenai hukum memegang al-Qur'an bagi wanita yang sedang datang bulan (haid), nifas dan orang yang junub:
Pendapat 1
Tidak memperbolehkan.
Imam Malik, Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa suci dari hadas kecil dan hadas besar adalah syarat di perbolehkannya memegang Mushaf Al qur’an. Pendapat ini didasarkan pada ayat :
لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
Artinya:
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)
            Para ulama di atas menafsirkan المُطَهَّرُونَ sebagai orang-orang yang bersuci. Baik dengan berwudhu ataupun mandi jinabah.
Pendapat ini juga diperkuat dengan hadis-hadis
“Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)
Adalah Nabi saw tidak melarangnya membaca al-Qur'an kecuali karena jinabah.” (HR: Ahmad dan Abu Daud)
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Wanita haid dan orang yang junub tidak boleh membaca (walaupun satu ayat) Alquran.” — (silsilah periwayat: Ibnu Hujr & al-Hasan bin Arafah dari Ismail bin Ayyash dari Musa bin Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar)”(HR Tirmizi dan Ibnu Majah)
Ali ia berkata, “Dalam keadaan apapun, selain junub, Rasul shallallah ‘alaihi wasallam selalu membacakan Alquran kepada kita.(HR Tirmidzi)
Jabir berkata, “Wanita haid dan nifas serta orang junub tidak boleh membaca Alquran.”(HR Tirmidzi) yang sedang haid dilarang memegang Al Qur’an.   Namun berdasarkan pendapat para ulama hadist-hadist di atas memiliki beberapa titik lemah sehingga bisa dinilai sebagai hadis dhoif. Adapun kelemahan-kelemahannya adalah sebagai berikut.
1.      Hadist Ibnu Umar di atas diriwayatkan Ismail bin Ayyash dari Musa bin Uqbah (ulama hijaz) sehingga hadist ibnu Umar dinilai dhoif
2.      Hadist tirmidzi ada yang di dapat dari Abdullah bin Salamah sementara Imam Bukhari menyatakan bahwa hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Salamah tidak layak untuk diikuti
3.      Titik lemah hadis tirmidzi yang lain adalah termasuknya Yahya bin Anisah sebagai salah satu periwayatnya sementara Imam Bukhari berpendapat bahwa hal ini mengindikasikan bahwa hadis tersebut adalah hadis dhoif (Lihat kitab al-Tarikh al-Kabir), dll.
Dalam menyikapi hadis dhoif di atas, para ulama juga berbeda pendapat. Dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Bukhari memandang bahwa hadist dhaif selamanya tetap dhaif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah
Sementara ulama-ulama lain seperti Sufyan al-Tsauri, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ishak berpendapat bahwa walaupun semua berstatus dhoif – dan sebagian hadis kadar ke-dlaif-annya tidak parah – tapi masing-masing saling menguatkan sehingga hadis tersebut bisa dimasukkan dalam golongan hadis hasan lighairih( hadis dhoif berubah status menjadi hadis hasan karena faktor eksternal). Sehingga, larangan wanita haid dan orang junub membaca Alqur’an tetap berlaku.
Perlu dingat meskipun ulama-ulama di atas melarang orang yang tidak suci memegang mushaf al-Qur'an, namun mereka membolehkan jika dalam kondisi sebagai berikut:
1.       Menyelamatkan mushaf al-Quran, baik dari hinaan orang lain, maupun jika mushaf itu ditemukan di tempat yang tidak layak atau najis. Dalam kondisi seperti diperbolehkan orang yang tidak berwudhu (atau tidak suci) untuk memegang mushaf.
2.       Ayat-ayat al-Qur'an yang tertulis di buku-buku ilmu dan pengetahuan. Dalam kondisi ini diperbolehkan menyentuh ayat-ayat yang terdapat pada buku-buku ilmu pengetahuan.
3.       Buku tafsir atau buku terjemah, dimana kandungan tafsir atau terjemahnya lebih banyak dari isi al-Quran. Dalam kondisi ini pun diperbolehkan memegang buku tafsir atau buku al-qur'an terjemah
4.       Mushaf al-Qur'an yang ditulis dengan selain bahasa Arab. Seperti buku Yasin yang banyak ditulis dengan tulisan latin, maka hal ini pun diperbolehkan menyentuh atau memegangnya.
5.       Mushaf al-Quran yang digunakan untuk belajar anak-anak yang belum baligh. Anak-anak yang belum mukallaf diperbolehkan memegang mushaf. Namun orang tua/walinya dianjurkan memperhatikannya agar tidak diperlakukan tidak baik oleh mereka.
6.       Diperbolehkan membawa mushaf al-Quran dalam kantong yang terpisah dengan al-Quran (bukan sampul yang menempel langsung dengan al-Quran), seperti kantong plastik, kantong belanja, tas dan lain sebagainya. Adapun jika memegang al-Qur'an, meskipun disampul dengan bahan tebal, sedangkan sampul itu menempel dengan al-Aquran, maka hal itu tidak diperbolehkan.
7.       Ayat al-Quran yang tertulis di koin atau lembaran uang (seperti mata uang di Negara-negara Arab) boleh dipegang karena terdapat kesulitan menghindarinya.

Demikian penjelasan tentang pendapat ulama yang tidak memperbolehkan memegang mushaf. Untuk penjelasan mengenai ulama yang memperbolehkan memegang mushaf di waktu haid bisa disimak di artikel selanjutnya.

Rabu, 10 Maret 2010

Hamba Sahaya

 
Para orientalis seringkali menyerang ayat-ayat Al Qur’an mengenai perbudakan. Dengan ayat itu mereka dengan bebas berasumsi bahwa islam menghalalkan perbudakan dan tidak menghargai Hak Asasi Manusia.
 

Kalau kita benar-benar  mengikuti sirah nabawiyah, kita akan menemukan fakta bahwa perbudakan pada abad-abad yang lalu merupakan salah satu fenomena masyarakat umat manusia di seluruh dunia. Islam datang dalam situasi dan kondisi yang demikian juga. Namun dapat dipastikan Allah dan Rasul-Nya tidak merestui hal tersebut, walaupun dalam saat yang sama harus diakui pula bahwa al-Qur’an dan Sunnah tidak mengambil langkah drastis untuk menghapuskannya sekaligus.
 
Al-Qur’an dan Sunnah menutup semua pintu untuk berkembangnya perbudakan kecuali melalui peperangan, yakni tawanan perang, karena ketika itu hal yang sama juga diperlakukan negara-negara lain terhadap tawanan perangnya. Dalam hal ini al-Qur’an pun tetap memberikan peluang untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa tebusan –ini jelas berbeda dengan sikap umat manusia ketika itu.
Islam menempuh cara bertahap dalam pembebasan perbudakan disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak ketika itu yang hidup bersama tuan-tuan mereka, sehingga kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka terpenuhi. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya jika perbudakan dihapus sekaligus, pastilah akan terjadi problem sosial, yang jauh lebih parah daripada problem pemutusan hubungan kerja [PHK] sebagaimana yang dialami bangsa kita dewasa ini. Ketika itu bukan saja pangan yang harus disiapkan, tetapi juga papan. Atas dasar itu, kiranya dapat dimengerti jika al-Qur’an dan Sunnah menempuh jalan bertahap untuk menghapus perbudakan tersebut.
 
Nah, dalam konteks ini, dapat juga dipahami perlunya ketentuan-ketentuan hukum bagi para budak tersebut. Itulah yang mengakibatkan adanya tuntunan dan tuntutan agama, baik dari segi hukum maupun moral, yang berkaitan dengan perbudakan.
 
Tahap-tahap yang ditempuh al-Qur’an dan Sunnah dalam konteks pembebasan perbudakan, antara lain, adalah menanamkan rasa persaudaraan kemanusiaan. Oleh karena itu, Rasul Saw, antara lain, berpesan, “Jangan menyebut mereka budak-budak, tetapi mereka adalah pemuda-pemudiku.” Karena itu pula para budak yang telah dimerdekakan dinamai maulâ, yang antara lain bermakna orang dekat atau pendukung.
Al-Qur’an menganjurkan kepada para pemilik budak untuk memberi kesempatan kepada para budak untuk menebus dirinya [QS an-Nûr [24]: 33]. Bahkan menganjurkan agar memerdekakan mereka tanpa tebusan. 

Cara kedua ini dinamai oleh al-Qur’an “‘Aqabah”, yaitu jalan mendaki [QS al-Balad [90]: 11-13] guna mencapai kedudukan yang tinggi di hadapan Allah swt. Islam menjanjikan ganjaran keterbebasan dari neraka bagi mereka yang memerdekakan budak.
 
Banyak hadits Nabi Saw yang menguraikan hal ini, antara lain, “Siapa yang memerdekakan hamba maka pemerdekaan itu menjadi tebusan baginya dari siksa neraka” [HR. an-Nasâ’î melalaui Abû an-Nujaih].
 
Sedemikian besar kesempatan yang dilapangkan Islam untuk membebaskan perbudakan, sampai-sampai ketika seorang yang sedang bergurau mengatakan akan membebaskan budaknya, maka hukum Islam menilai gurauan tersebut sebagai pembebasan. “Ada tiga hal yang keseriusannya dinilai serius dan gurauannya [pun] dinilai serius, yaitu nikah, talak, dan memerdekakan hamba” [HR. Ahmad, Abû Dâwûd, at-Tirmidzî, dan ath-Thabrani].
 
Di samping apa yang disebut di atas, al-Qur’an juga menetapkan dana tertentu dari zakat untuk pembebasan budak [QS At-Taubah [9]: 60] sebagaimana menetapkan sanksi hukum berupa pembebasan budak bagi sekian banyak pelanggaran agama. Misalnya pembunuhan seorang Mukmin tanpa sengaja [QS an-Nisâ’ [4]: 92], bersetubuh di siang hari Ramadhan bagi yang wajib berpuasa [HR. Bukhârî dari Abû Hurairah], sanksi hukum zhihâr [yakni mengharamkan istri sebagaimana haramnya menggauli ibu --QS al-Mujâdilah [58]: 3-4], membatalkan sumpah [QS al-Mâ’idah [5]: 89], dan bahkan –menurut Rasul Saw–  memperlakukan seorang hamba sahaya secara tidak wajar, seperti menamparnya atau menyakitinya tanpa hak, maka kaffârah-nya adalah memerdekakan hamba tersebut, sebagaimana sabdanya, “Siapa yang menampar budaknya atau memukulnya, maka penghapusan dosanya adalah dengan memerdekakannya” [HR. Muslim, melalui Ibnu ‘Umar].
 
Adapun yang Anda dengar tentang ulama yang enggan taat kepada pemerintah atau rajanya dengan alasan raja tersebut seorang budak, maka hadits berikut merupakan jawabannya, “Dengarkan dan patuhi walau yang menjadi penguasa kamu adalah seorang hamba sahaya yang hitam lagi buruk rupanya” [HR. Bukhârî dari Anas]. Demikian, wallâhu a‘lam. 

Sumber : Tulisan Ust Quraish Shihab di www.alifmagz.com

Agama Kita Dihina

Astaghfirullahaladzim, baru kali ini aku benar-benar melihat sendiri bagaimana agamaku dihina. Dipandang rendah. Semoga penulis-penulis dalam website www.apostateofislam.com cepat diberi hidayah oleh Allah.      

Jika ada kalangan yang berpikir bahwa Al Qur'an itu bukan wahyu melainkan karangan Muhammad

Seharusnya mereka juga berpikir

Jika  Alqur’an bukan wahyu...
Darimana seorang Muhammad yang buta huruf bisa berbicara tentang kisah musa dan fir’aun di mesir yang sudah terbukti keberadaannya?     

Jika Alqur’an bukan wahyu...
Darimana seorang Muhammad yang buta huruf bisa berbicara tentang proses penciptaan manusia yang sudah jelas terbukti secara ilmiah?     

Jika Alqur’an bukan wahyu...
Darimana seorang Muhammad yang buta huruf berbicara tentang langit yang terbelah seperti mawar hingga akhirnya terbukti teori bigbang dan supernova?
    

Demi Allah, Alqur’an adalah wahyu, Kalamullah yang akan terap terjaga, tak pernah tergantikan satu hurufpun hingga hari kiamat nanti. 
 

Sungguh aku bersaksi bahwa Tiada Tuhan Selain Allah SWT
Dan Muhammad adalah utusan Allah.