CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 19 Februari 2011

Lelaki Berjiwa Malaikat

Rumah sakit Dharmais 20.00

Wajahnya lesu kelelahan. Kaosnya kumal penuh keringat. Baru sejam lalu dia datang. Sepertinya hari ini kerja berat lagi.

“Dokter Farid, habis memeriksa istri saya?”

Dia menyapaku ceria. Sepertinya dia sadar kalau sudah kuamati sejak tadi.

“Bagaimana perkembangannya dok?”

“Pak Rahmat sabar ya. Sejauh ini belum ada perkembangan signifikan” Tanganku menepuk-nepuk pundaknya. Membayangkan kalau reaksinya akan seperti keluarga pasien lain. Menangis meraung-raung, memukul-mukul tembok dan melakukan hal-hal ‘ekstrem’ lainnya

“Semoga Allah membantu kami bersabar dok”

Ternyata reaksinya jauh dari bayangan. Rahmat hanya tersenyum. Sejurus kemudian dia melangkah ke ruang ICCU. Mengintip tubuh lemah istrinya dari balik kaca. Kalau kau melihatnya, mungkin kau akan benar-benar terharu.

Kulihat matanya sedikit berkaca-kaca meski bibirnya masih mencoba tersenyum. Dia menggumamkan beberapa kata yang tak jelas. Sepertinya dia sedang berdoa dan berbicara kepada isterinya dengan caranya sendiri.

*
Rumah sakit Dharmais 03.00

Pagi buta. Aku berjalan ke parkiran mobil, operasi tadi membuatku tertahan di rumah sakit sampai pagi. Tubuh lelahku kuayun pelan sambil meminum sekaleng kopi dingin. Menghindari resiko tidur sambil berjalan seperti yang dulu-dulu. Sampai di parkiran, aku menghidupkan Fortunerku. Tak berhasil. Mencoba menghidupkannya lagi. Tetap tak bisa. Sekali, dua kali, tiga kali, lima kali. Aku mulai jengkel.

“Shit....nih mobil ga tau apa kalo gue lagi capek”

Mulutku mulai agak rusak, aku turun dari mobil sambil mengumpat berkali-kali. Kenapa mobilku harus mogok sepagi ini. Di parkiran masih belum ada orang. Aku tak terlalu ahli memperbaiki mesin. Bagaimana kalau mobil ini tak mau jalan. Kuambil handphone di sakuku, berharap bisa menelfon taksi.

“Arrggghhhhhh....”

Aku menendangi ban mobilku. Jengkel. Aku lupa kalau handphone ku sudah lowbat dari tadi.

“Assalamualaykum dokter”

“Waalaykumsalam pak Rahmat”

“Itu mobilnya kenapa kok ditendang-tendang?”

“Mogok pak. Saya capek, jadi jengkelnya berlipat-lipat”

Rahmat tertawa mendengar jawabanku. Membuatku sadar kalau sikapku tadi memang lucu. Istilah gaulnya Ababil, begitu lah.

“Dokter Farid ini lucu. Mobil mogok kok malah ditendangi”

“Kadang capek membuat saya labil pak”

Kali ini aku tak menemukan ekspresi yang tepat selain nyengir tak jelas untuk menutupi rasa maluku.

“Yang sabar toh dok. Sini biar bapak bantu”

Laki-laki 40 tahun itu lalu menyuruhku membuka kap depan mobil. Aku pasrah. Mungkin dia bisa.

“Pak Rahmad nggak tidur?”

“Sudah tadi dok. Jam dua baru bangun”

“Wah bapak rajin sekali ya. Kalau saya lagi nggak ada kerjaan, jam segini pasti masih melungker di kasur”

“Sayang dok kalau jam segini tidur. Jam segini itu jam turunnya malaikat. Semua doa diijabah. Lha masak di waktu istimewa seperti ini saya tidur”

Lelaki yang hidupnya sedang penuh musibah itu berpetuah tanpa mengangkat kepalanya dari dalam kap. Aku sedikit sanksi dengan kata-katanya. Kalau yang dia katakan benar, seharusnya nasibnya tak sesial ini. Bagaimana mungkin orang yang disayang Tuhan malah dapat musibah bertumpuk-tumpuk. Istri kena Leukimia, 3 bulan koma di rumah sakit. Musibah itu saja sudah membuat Rahmat terpontang-panting mencari biaya pengobatan. Eh ditambah lagi sebulan lalu, perusahaan tempat dia bekerja tiba-tiba bangkrut dan memutuskan ikatan kerja tanpa pesangon yang cukup. Bagaimana orang ini masih bisa berkata kalau Tuhan akan mengabulkan doanya?

“Dokter Farid, sepertinya mobilnya sudah nggak mogok lagi. Mangga dicoba”

“Ah iya pak”

Aku masuk ke dalam mobilku, mencoba menghidupkan mesinnya. Lancar. Alhamdulillah.

“Terima kasih pak”

“Iya”

Tangan Rahmat melambai ceria. Aku menyetir mobilku pelan, berjaga kalau tiba-tiba kantukku tak tertahan.

Stasiun Senen 09.00

Kantukku masih tersisa. Suasana stasiun yang terlalu ramai membuatku tak bisa memejamkan mata sedetikpun padahal biasanya aku bisa tertidur pulas sambil duduk, atau sambil berdiri sekalipun. Kulirik jam tanganku. Sudah sejam aku menunggu tetapi kereta yang membawa Atikah, isteriku dari Surabaya tak juga datang. Sebenarnya aku memaksanya naik pesawat saja, mengingat kondisi kandungannya yang masih muda, rawan keguguran tapi dia menolak. Katanya naik kereta lebih nikmat.

Kubiarkan mataku menyisir keramaian. Memandangi ratusan wajah dengan ekspresi berbeda-beda. Ada yang menunggu kereta sambil terkantuk-kantuk, ada yang membaca buku, ada yang mendengarkan musik, ada yang mengobrol. Ada juga yang sibuk berjualan. Dari kejauhan, aku melihat sosok yang sepertinya kukenal. Perut buncit. Kulit putih bersih. Mengenakan bawahan celana gelap dan atasan kaos putih berlogo salah satu partai politik. Tangan kanan dan kirinya membawa 2 keranjang penuh makanan ringan dan minuman dingin. Aku memastikan, Tak salah lagi. Itu Rahmat.

“Laki-laki itu, bagaiamana dia bisa sesemangat itu?” aku bergumam dalam hati. Kuamati terus laki-laki itu. Kulihat tubuh gemuknya menunduk, tangannya tampak menyodorkan sebotol minumn isotonik kepada seorang laki-laki berbaju lusuh di dekatnya. Laki-laki berbaju lusuh itu terlihat menggeleng tapi tatapan matanya menunjukkan kalau dia sedang haus. Seperti biasa, Rahmat hanya tersenyum.

“Ambil saja mas”

“Saya tidak punya uang pak. Barang-barang saya hilang di kereta”

“Kalau mas nggak minum nanti pingsan lho. Ambil aja. Gratis”

Pak Rahmat terus menyodorkan minuman dingin berbotol biru itu. Sang pemuda tersenyum. Dan berterima kasih berkali-kali. Satu hal yang masih tak habis pikir, dalam keadaan sulit. Bahkan pengobatan isteri saja sampai harus menjual rumah. Belum lagi kuliah anak yang harus mandeg gara-gara tak mampu membayar SPP. Dia masih mau berbagi. Orang baik kadang membuat bingung.

*
Rumah Sakit Dharmais menjelang senja

Bau kematian menajam. Sinyal EKG (1)  melemah. Membuat keringat dinginku bercucuran. Sejak jam setengah empat tadi kondisi isteri Rahmat memburuk. Aku mencoba menghubungi Rahmat dan anaknya, namun baru detik ini aku sadar. Mereka berdua tak punya handphone.

Dokter Surya tampak menahan nafas. Mata kami saling bersitatap. Garis-garis di EKG terlihat lurus. Dokter Surya melakukan defibrilasi(2). Sekali, dua kali, tiga kali. Garis-garis di EKG tak berubah. Tetap lurus.

“Innalillahi Wa Inna Ilai Roji’un”

Dadaku tiba-tiba sesak. Meskipun aku dokter spesialis kanker yang sebenarnya sudah sangat biasa mengatakan, “Maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Tuhan berkehendak lain” tapi optimisme, wajah ceria Rahmat membuatku tak tega mengatakan itu.

Aku keluar dari ruang ICCU. Ternyata Rahmat sudah standby di luar. Tangannya menggenggam map biru.

“Dokter Alhamdulillah saya dapat kerja lagi dengan posisi yang sama. Manajer Keuangan”

Aku mencoba memaksa tersenyum.

“Bagaimana kondisi isteri saya Dok? Apa sudah membaik? Saya jadi tak sabar ingin bercerita ke istri saya”

Aku memutar otak. Bagaimana memilih kata yang tepat? Oh God. Huft.

“Pak Rahmat sabar ya. Isteri bapak sudah beristirahat dengan tenang. Sepuluh menit lalu Tuhan memanggil isteri bapak”

Hening. Rahmat terdiam. Ekspresinya berubah. Tangannya menepuk dada.

“Ishbirni ya Rabb”(3)

Rahmat mengucapkan kata yang tak kumengerti. Beberapa menit kemudian, untuk pertama kalinya kulihat laki-laki tegar itu menangis.

“Sekarang isteri saya dimana dok?”

“Masih di ruang ICCU pak. Mari saya antar”

Tanpa komando, Rahmat berjalan cepat memasuki ruangan. Aku hanya memandanginya dari jauh. Laki-laki itu berhenti terisak. Diciuminya wajah sang isteri. “Allah menyayangimu. Allah menyayangimu”. Rahmat menatap isterinya lama, kurang lebih tiga puluh menit. Aku menungguinya dengan sabar.

“Allah lebih menyayanginya dok. Makanya dia dipanggil duluan”

Aku tercenung. Dalam kondisi seperti ini, di masih bisa berpikir positif.

“Dokter, saya boleh minta tolong?”

“Apa yang bisa saya bantu?”

“Bisa pinjam telefon. Untuk menelfon adik saya. Kasihan putri saya tidak ada yang menjemput”

Aku meminjami laki-laki itu handphone. Rahmat menggunakannya sebentar. Lalu pergi menyelesaikan administrasi. Dan membawa pulang jenazah isterinya. Sejak itu, aku tak pernah melihatnya lagi.


Tunjungan Plasa Surabaya 6 Bulan Kemudian

Kandungan Atikah sudah 7 bulan, aku memintanya mengambil cuti. Mungkin dua bulan lagi dia melahirkan. Aku tak tega kalau harus membiarkannya sendirian di rumah saat aku kerja. Karena kampung halamanku di Bukittinggi terlalu jauh. Akhirnya aku memutuskan untuk membawanya ke rumah ayah bundanya di Surabaya.

Minggu ini, atas nama bayi yang dikandungnya dia memaksaku menemaninya ke toko buku Gramedia tunjungan plasa.

“Ke Manyar aja ya sayang, Dharmahusada ke TP kan jauh”

Aku mencoba membujuknya agar mau kuantar ke toko buku yang lebih dekat.

“Tapi aku pengen ke Gramedia TP mas. Ayo”

“Ntar anak kita ngiler lho”

Dia terus merengek. Dan bisa ditebak, ujung-ujungnya aku tak tega menolak bidadariku itu.

Di depanku, Atikah asyik memilah-milah buku psikologi Islam yang tertata rapi di rak kayu warna coklat. Aku memandanginya tenang, melihat bidadariku bahagia, rasanya damai sekali.

“Dokter Farid, Assalamualaykum”

Seseorang menepuk pundakku dari belakang

“Pak Rahmat” aku terkejut. Aku melihat Rahmat lagi. Kali ini penampilannya sedikit berbeda. Lebih bersih dan terlihat lebih makmur.

“Sedang apa dok?”

“Nemenin isteri pak. Lagi ngidam. Pak Rahmat sendiri?”

“Saya sedang mencari hadiah buat putri saya dok. Minggu depan dia wisuda S1 sekaligus wisuda hafalan Al Qur’an”

“Subhanallah hebat sekali”

“Iya. Waktu isteri saya sakit, anak saya cuti kuliah dan nyantri di ponpes. Meneruskan hafalannya yang kurang 10 juz. Alhamdulillah sudah khatam. Dan Alhamdullillah 6 bulan lalu saya dapat kerjaan lagi jadi bisa membayar kuliah putri saya sama ngontrak rumah”

“Pak Rahmat hebat ya”

“Bukan hebat dok. Hanya saja Allah memberi kami banyak kesempatan. Pamit dulu ya dok, kasihan anak saya nunggu di rumah. Assalamualaykm”

“Waalaykumsalam”

Rahmat berlalu, badannya mulai tak terlihat. Aku merenung. Laki-laki hebat. Optimisme, Khusnudzon, satu hal yang mungkin tak dipunyai orang lain. Laki-laki itu, tak pernah mengeluhkan keputusan Allah yang kadang terlihat kejam (atau mungkin aku saja yang menganggapnya itu kejam). Tanpa sadar aku mengingat kembali kejadian 6 bulan lalu.

Mungkin saja, maksud Allah mengambil isteri Rahmat adalah memberi Rahmat kesempatan menata kembali perekonomiannya. Mungkin saja maksud Allah membuat Rahmat tak bekerja untuk sementara waktu adalah untuk mengistirahatkan putri Rahmat agar dia punya kesempatan mendapat gelar Sarjana Komputer dan Hafidzah secara bersamaan. Mungkin saja.

“Wallahu a’lam mas. Tapi yang pasti, Allah itu Mahaadil. Sayang sama makhlukNya. Mas Farid aja yang kadang suka ngeluh. Di kasih ujian dikit sudah ngamuk-ngamuk nggak jelas”

Atikah menceramahiku. Aku memencet hidung mancungnya.

“Iya. Setidaknya mulai detik ini aku sadar, bahwa Allah tak pernah meninggalkan hambanya. semakin gelap malam semakin dekat dengan fajar, semakin berat persoalan semakin dekat dengan jalan keluar. Begitu kan sayang?”

Atikah tersenyum, sambil memegang perut buncitnya dia berbisik.

“Dengar sayang, papamu mulai sadar. Alhamdulillah”

Kami tertawa bersama. Ya Allah terimakasih karena kau sudah mengingatkanku dengan cara yang bisa kumengerti.