CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, 10 Maret 2010

Hamba Sahaya

 
Para orientalis seringkali menyerang ayat-ayat Al Qur’an mengenai perbudakan. Dengan ayat itu mereka dengan bebas berasumsi bahwa islam menghalalkan perbudakan dan tidak menghargai Hak Asasi Manusia.
 

Kalau kita benar-benar  mengikuti sirah nabawiyah, kita akan menemukan fakta bahwa perbudakan pada abad-abad yang lalu merupakan salah satu fenomena masyarakat umat manusia di seluruh dunia. Islam datang dalam situasi dan kondisi yang demikian juga. Namun dapat dipastikan Allah dan Rasul-Nya tidak merestui hal tersebut, walaupun dalam saat yang sama harus diakui pula bahwa al-Qur’an dan Sunnah tidak mengambil langkah drastis untuk menghapuskannya sekaligus.
 
Al-Qur’an dan Sunnah menutup semua pintu untuk berkembangnya perbudakan kecuali melalui peperangan, yakni tawanan perang, karena ketika itu hal yang sama juga diperlakukan negara-negara lain terhadap tawanan perangnya. Dalam hal ini al-Qur’an pun tetap memberikan peluang untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa tebusan –ini jelas berbeda dengan sikap umat manusia ketika itu.
Islam menempuh cara bertahap dalam pembebasan perbudakan disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak ketika itu yang hidup bersama tuan-tuan mereka, sehingga kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka terpenuhi. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya jika perbudakan dihapus sekaligus, pastilah akan terjadi problem sosial, yang jauh lebih parah daripada problem pemutusan hubungan kerja [PHK] sebagaimana yang dialami bangsa kita dewasa ini. Ketika itu bukan saja pangan yang harus disiapkan, tetapi juga papan. Atas dasar itu, kiranya dapat dimengerti jika al-Qur’an dan Sunnah menempuh jalan bertahap untuk menghapus perbudakan tersebut.
 
Nah, dalam konteks ini, dapat juga dipahami perlunya ketentuan-ketentuan hukum bagi para budak tersebut. Itulah yang mengakibatkan adanya tuntunan dan tuntutan agama, baik dari segi hukum maupun moral, yang berkaitan dengan perbudakan.
 
Tahap-tahap yang ditempuh al-Qur’an dan Sunnah dalam konteks pembebasan perbudakan, antara lain, adalah menanamkan rasa persaudaraan kemanusiaan. Oleh karena itu, Rasul Saw, antara lain, berpesan, “Jangan menyebut mereka budak-budak, tetapi mereka adalah pemuda-pemudiku.” Karena itu pula para budak yang telah dimerdekakan dinamai maulâ, yang antara lain bermakna orang dekat atau pendukung.
Al-Qur’an menganjurkan kepada para pemilik budak untuk memberi kesempatan kepada para budak untuk menebus dirinya [QS an-Nûr [24]: 33]. Bahkan menganjurkan agar memerdekakan mereka tanpa tebusan. 

Cara kedua ini dinamai oleh al-Qur’an “‘Aqabah”, yaitu jalan mendaki [QS al-Balad [90]: 11-13] guna mencapai kedudukan yang tinggi di hadapan Allah swt. Islam menjanjikan ganjaran keterbebasan dari neraka bagi mereka yang memerdekakan budak.
 
Banyak hadits Nabi Saw yang menguraikan hal ini, antara lain, “Siapa yang memerdekakan hamba maka pemerdekaan itu menjadi tebusan baginya dari siksa neraka” [HR. an-Nasâ’î melalaui Abû an-Nujaih].
 
Sedemikian besar kesempatan yang dilapangkan Islam untuk membebaskan perbudakan, sampai-sampai ketika seorang yang sedang bergurau mengatakan akan membebaskan budaknya, maka hukum Islam menilai gurauan tersebut sebagai pembebasan. “Ada tiga hal yang keseriusannya dinilai serius dan gurauannya [pun] dinilai serius, yaitu nikah, talak, dan memerdekakan hamba” [HR. Ahmad, Abû Dâwûd, at-Tirmidzî, dan ath-Thabrani].
 
Di samping apa yang disebut di atas, al-Qur’an juga menetapkan dana tertentu dari zakat untuk pembebasan budak [QS At-Taubah [9]: 60] sebagaimana menetapkan sanksi hukum berupa pembebasan budak bagi sekian banyak pelanggaran agama. Misalnya pembunuhan seorang Mukmin tanpa sengaja [QS an-Nisâ’ [4]: 92], bersetubuh di siang hari Ramadhan bagi yang wajib berpuasa [HR. Bukhârî dari Abû Hurairah], sanksi hukum zhihâr [yakni mengharamkan istri sebagaimana haramnya menggauli ibu --QS al-Mujâdilah [58]: 3-4], membatalkan sumpah [QS al-Mâ’idah [5]: 89], dan bahkan –menurut Rasul Saw–  memperlakukan seorang hamba sahaya secara tidak wajar, seperti menamparnya atau menyakitinya tanpa hak, maka kaffârah-nya adalah memerdekakan hamba tersebut, sebagaimana sabdanya, “Siapa yang menampar budaknya atau memukulnya, maka penghapusan dosanya adalah dengan memerdekakannya” [HR. Muslim, melalui Ibnu ‘Umar].
 
Adapun yang Anda dengar tentang ulama yang enggan taat kepada pemerintah atau rajanya dengan alasan raja tersebut seorang budak, maka hadits berikut merupakan jawabannya, “Dengarkan dan patuhi walau yang menjadi penguasa kamu adalah seorang hamba sahaya yang hitam lagi buruk rupanya” [HR. Bukhârî dari Anas]. Demikian, wallâhu a‘lam. 

Sumber : Tulisan Ust Quraish Shihab di www.alifmagz.com